PAPANDAYAN FELLOWSHIP
"KAMI YANG NEKAT MENDAKI"
Setelah pengalaman saya yang tidak enak terakhir kali dari Rancaupas, merasa diikuti "yang tidak kelihatan" di Rancaupas Ciwidey, kali ini hati saya terpanggil untuk menakhlukkan Papandayan. Gunung yang baik bagi pendaki pemula seperti saya, namun memberikan banyak bonus yang bisa kami temukan disana. Kali ini perjalanan saya sungguh berwarna, ada hitchiking, menginap di rumah orang yang memberikan kami tumpangan, ngeteng ke Garut, hiking, camping, berburu sunrise, membuat film dokumenter, sampai nyusrug di tebing. Bagaimana cerita lebih lengkapnya? Cekidoott...
Rencana silaturahmi yang batal.
Kami yang nekat menanjak di tengah isu kebakaran gunung Papandayan |
Adanya trip pendakian Papandayan pada awalnya adalah ajang silaturahmi anak-anak BPC (Backpacker Community Jabodetabek), dengan rencana awal sekitar 50-an orang yang akan turut mendaki. Tanggal telah ditentukan, 31 Agustus - 2 September 2012. Tapi kenyataan berkata lain, tgl 22 Agustus 2012, gunung Papandayan dikabarkan terbakar, dan rencanapun dibatalkan, walaupun saya sudah menegaskan kepada mereka bahwa saya telah mengkonfirmasikan kepada Bp. Teguh, Ketua Konservasi Papandayan, bahwa yang kebakaran hanya di areal jalan menuju basecamp.
Hitchiking ke Bandung
Tapi ternyata, masih ada beberapa teman yang ingin nekat menanjak. Dua orang rekan dari Bandung, 4 orang dari Jakarta. Akhirnya saya bergabung dengan teman-teman dari Jakarta. Rencana awal adalah ke Garut naik bus dari Pasar Rebo. Tapi berhubung saya sudah pernah sukses melakukan hitchiking ke Bandung, kali ini saya mengajak yang lain untuk ikut hicthiking bersama saya. Hitchiking adalah traveling / kemana-mana dengan menumpang kendaraan yang lewat. Senjata perang untuk hitchiking yang utama adalah spidol dan kertas. Tinggal kita tulis saja tulisan "NUMPANG" atau "NEBENG" atau langsung saja tulis kota yang dituju. Berhubung kertas hitchiking andalan saya yang bertuliskan "NUMPANG" ketinggalan, akhirnya saya putuskan untuk mencari-kertas dengan ukuran cukup lebar, yang ideal untuk hitchiking minimal 2x kertas A3, atau pergunakan saja kertas fax karena lebih ulet dan ga gampang sobek. Di Pasar Rebo, banyak pedagang buah, dan sayapun meminta 2 lembar kertas kalender bekas kepada seorang penjual buah.Setidaknya saya dapat 1 atribut hitching "NUMPANG"
Berhubung tempat hitching kami gelap, dan ga ada foto yg bagus, kira-kira seperti inilah gaya kami kalo lagi hitching di siang hari. |
Kamipun segera mengambil jalur jalan tol yang arah ke Bandung. Cukup lama kami menunggu kendaraan namun tak satupun yang berhenti, setelah satu jam menunggu dan hampir saja putus asa, akhirnya sebuah mobil Panther ber-plat merah menhampiri kami dan membawa kami berempat. Bapak yang baik hati ini bernama Pak Embing. Seorang polisi yang tergerak hatinya untuk bersama dengan beberapa perusahaan perbankan untuk merenovasi sekolah-sekolah yang rusak. Kamipun diantar sampai ke Rest Area 39, karena beliau akan keluar di exit tol Karawang.
Fajar, mempelajari medan / rute yang akan ditempuh dari Peta mudik |
Hitching pertama, Ps. Rebo - Rest Area 39 by Pak Embing, Panther plat merah. |
Di rest area ini kami berhenti sejenak untuk sholat Isya, kemudian melanjutkan next hitching kami. Lalu... sebuah mobil Kijang Innova silver pun merapat ke kami. Pak Enda, seorang pengusaha mangan, yang pada masa lalunya pernah menjadi TKI di Arab Saudi yang kurang berhasil, karena tidak digaji selama satu tahun lebih, bahkan pernah berurusan dengan kepolisian Arab saudi karena kesalahpahaman atas mobil majikannya. Namun, sekarang... Inova ada di tangan, membuktikan kepada kami generasi muda bahwa, nasibpun akan berubah apabila kita mau berubah dan bekerja keras. Rencananya kami mau diturunin di exit tol 55, berhubung saya pernah diturunkan di exit tol tersebut dan cukup kesulitan mendapatkan mobil ke Bandung, saya bilang agak keberatan, dan akhirnya si Pak Enda pun mengantar kami sampai Rest Area Sadang km 79, walaupun resikonya nati dia harus putar balik lebih jauh ke rumahnya. Ucapan kami hanya "Terima kasih Bapak, maaf kami tidak punya apa-apa, semoga Yang Diatas yang membalasnya". Bagi saya mendoakan kebaikan kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita adalah imbalan yang paling pantas.
Hitching ke-2, Rest Area 39 menuju Rest Area Sadang km 79 by Pak Enda |
Di Sadang ini rest area-nya cukup luas. Lantas kamipun meanjutkan hitching kami yang ke-3. Gak perlu berlama-lama, sebuah mobil Avanza silverpun segera mengangkut kami ke kota Bandung. Si om yang satu ini cukup unik, beliau tidak mau menjelaskan namanya siapa, dan tidak mau difoto pula. Dia bercerita masa mudanya pun pernah seperti kami, suka naik gunung, wow senior nech... Bahkan anak perempuannya yang pertama, Nadya, mengikuti jejaknya, senang mendaki gunung. Diapun memintakami berkenalan dengan putrinya. Tanpa dinyana-nyana ternyata mereka masih satu komplek dengan teman ngetrip saya yang dulu ke Caringin Tilu, teteh Dewi pelita di Soekarno-Hatta. Si Bapak ini melarang kami untuk melanjutkan perjalanan ke Garut. Dia meminta kami untuk menginap ditempatnya. Kamipun tak mampu menolak, secara waktu menunjukkan pukul satu pagi. kasur dan bantal adalah hal yang paling kami rindukan. Kamipun segera mengundang salah satu teman kami, Cahyo yang tinggal dekat dari daerah tersebut.
Di rumah si Bapak ini. kami disuguhi banyak makanan, kue-kue lebaran yang enak-enak, ada nastar, lidah kucing, dll. Kamar tidur dengan 3 kasur, saya sich tidur di sofa aja. Rencana pertama sich pengennya berangkat pagi. Mungkin karena tidurnya telat / kecapekan pula, kamipun bangun kesiangan, khususnya saya hehe... Lanjut mandi air hangat, mumpung ada :D bahkan kamipun dibauatin sarapan nasi goreng dan dibawain bekal roti bakar bandung. Kata si Ibunya Nadya ini, "semoga saja kalau si Nadya lagi keluar, ke gunung atau kemana, ada yang baik hati pula ke dia.."
Kasuurr mana kasuurr.... |
Sarapan Nasi goreng |
Kamipun menunggu rekan kami yang lain yang berasal dari Bandung, Windiatmoko Sumaryo, untuk menentukan rute mana yang akan kami tempuh. Tapi rupanya mereka berdua, Om Cahyo dan Om Windi, memutuskan untuk naik motor dan bertemu di basecamp Papandayan saja.
Ngeteng ke Garut, Tragedi matras hilang!
Selepas berpisah dengan Om Cahyo dan Om Windi, kami naik angkot warna hijau jurusan Cibiru, Rp12.000/4 orang. Pada saat kami turun dari angkot dan mencari mobil elf jurusan Garut, kami baru sadar, satu-satunya matras yang kami bawa, HILANG!
Lantas kami naik mobil elf jurusan Garut dan turun di Cipanas, Rp 10.000 / org. Ternyata kami salah turun, kami pun melanjutkan naik mobil elf jurusan Cikajang, dan menuju Cisurupan, Rp 5.000/org. Berhubung sesampai Cisurupan sekitar pukul 1 siang, kamipun segera mengisi perut di warung Padang yang lokasinya tepat di pertigaan Cisurupan. Rp9.000/porsi. Sayapun membeli satu porsi lagi buat diatas. Takut kelaparan, hehe... Dan segera melengkapi logistik kami yang belum lengkap, yaitu 4 botol air mineral ukuran 1,5 ltr.
Pertigaan Cisurupan. Mobil bak yang biasa ke papandayan biasanya ngetem dibawah Baliho "M*LD" dengan tarif Rp120.000 sekali jalan |
Berhubung mobil bak menerapkan tarif flat, maksudnya Rp120.000/sekali jalan menuju Basecamp, berapapun jumlah penumpangnya, akhirnya kami memilih naik ojek, dengan tarif Rp20.000/org sampai basecamp Papandayan.
Nama Papandayan berasal dari bahasa Sunda "Panday" yang berarti pandai besi. Dahulu, ketika masyarakat melintasi gunung ini sering terdengar suara-suara mirip keadaan tempat kerja pandai besi, suara tersebut berasal dari kawah yang sangat aktif.
Gunung Papandayan adalah satu-satunya gunung api yang masih aktif di kabupaten Garut, Jawa Barat, tepatnya di kecamatan Cisurupan terletak di sekitar 25 km sebelah barat daya Kab. Garut, dengan geografis 7o19' LS dan 107o44' BT dengan ketinggian 2665 mdpl atau sekitar 1950 m diatas dataran Garut. Di sebelah selatan gunung ini terdapat gunung Guntur dan di sebelah timurnya terdapat gunung Cikuray.
Berapapun tingginya itu, Papandayan tetap memiliki sejuta pesona bagi setiap pendaki. Daya tarik Papandayan sendiri yang paling banyak dicari para pengunjung dan pendaki.
- Kawah. Gunung Papandayan sebagai gunung berapi yang masih aktif dengan luas sekitar 10 Ha , memiliki beberapa kawah yang terkenal. Diantaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut masih mengeluarkan asap belerang. Pergunakan masker ketika melewati kawasan ini. Karena bau belerangnya sangat menyengat.
- Sumber Air Panas. Blok sumber air panas ini letaknya di perbatasan Blok Cigenah. sumber air panas ini mengandung belerang dan berkhasiat dalam penyembuhan penyakit kulit terutama gatal-gatal. Secara keseluruhan kawasan ini memiliki panorama alam yang indah dengan lingkungan yang relatif masih utuh dan alami yang ditunjang dengan kesejukan udara.
- Hutan Mati.
- Pondok Salada
- Tegal Alun
- Puncak satu
Pendakian Papandayan Fellowship
Sesampai di basecamp pukul 13.30, saya, fajar, rofiq dan aji segera mencari lokasi om windi dan om cahyo. ternyata mereka menunggu kami di mushola. Kamipun segera membersihkan badan dan sholat Dzuhur. Pukul 14.30 kami memulai pendakian. Kami terus mendaki sesuai jalur pendakian, dari basecamp tak seberapa jauh kami langsung bertemu dengan gugusan kawah yang masih aktif, dan jalur pendakianpun berada tepat di atas kawah tersebut, sampai disini kami mendapati adanya jalan buntu, sebuah tebing curam di hadapan kami. Seorang teman dari rombongan lain memberi tahu kami bahwa jalur yang benar ada di belakang kami lalu turun.
Kamipun segera melanjutkan perjalanan mengikuti trek, dan lagi-lagi belom berapa lama berjalan, kami mendapat bonus lagi. Adanya sungai kecil dengan air yang sangat bening. Ahh,,, rasanya pengen langsung nyebuur sajaa... :)
Setelah trek ini jalur trekking terasa lebih berat bagi saya dari jalur sebelumnya. Lebih curam dengan debu-debu tanah pula, maklum musim kemarau. Kemudian kami menemukan satu daerah yang disebut Lawang Angin. Di Lawang Angin ini kita bisa ngeliat ngarai-nya Papandayan dengan sangat jelas. Dan hawanya sangat sejuk, anginnya cukup kuat, mungkin itu kenapa dinamakan Lawang Angin.
Sampailah kami di Pondok Saladah.. Loh mana saladahnya?? Hahaha.. ternyata hanya tinggal nama saja tuch saladah. Di pondok saladah ini kami bermalam. Memasak mie, bikin kopi, bikin bulb, maen kartu.. dan saya Kalah...!!! hahaha...
Karena saya cewek sendiri diantara 5 cowok-cowok yang lain, dan tenda yang dibawa hanya 2 buah, terpaksa saya setenda dengan 3 orang lainnya.. Ahh toh pakai sleeping bag ini.. santai aja lah.. hahha..
Keesokannya terdengar suara ngorook kenceng banget, hahaha.. rupanya si Aji yang ngorok.
Pagi-pagi
Pagi-pagi buta kami melanjutkan perjalanan ke puncak. untuk mengejar sunrise ke Tegal Alun melewati Hutan Mati / Death Forest. Dinamakan begitu karena hutan itu pernah terkena letusan papandayan pada kira-kira tahun 90an. Hasilnya sekarang adalah batang-batang kayu yang masih tegak berdiri tanpa daun dan ranting, hitam! Karena terbakar, hangus!
Selanjutnya kami menuju Tegal Alun. Disana kami bertemu dengan pendaki lain yang bermalam disana.
Tegal Alun ini sungguh indah. Padang edelweisnya luas. Dimana-mana edelweis tumbuh subur, dan bermekaran... Luarr biasa indahnya negeri ini.
Hahaha,,, di Tegal Alun ini naluri gila si Aji menular ke teman-teman yang lain. Disana kami buat video dokumenter yang ceritanya nggak jelas, awalnya apaaaa... endingnya apaaa.. Trus bikin foto-foto lucu bertema raksasa dan kurcaci.
Sesampai di basecamp pukul 13.30, saya, fajar, rofiq dan aji segera mencari lokasi om windi dan om cahyo. ternyata mereka menunggu kami di mushola. Kamipun segera membersihkan badan dan sholat Dzuhur. Pukul 14.30 kami memulai pendakian. Kami terus mendaki sesuai jalur pendakian, dari basecamp tak seberapa jauh kami langsung bertemu dengan gugusan kawah yang masih aktif, dan jalur pendakianpun berada tepat di atas kawah tersebut, sampai disini kami mendapati adanya jalan buntu, sebuah tebing curam di hadapan kami. Seorang teman dari rombongan lain memberi tahu kami bahwa jalur yang benar ada di belakang kami lalu turun.
Kamipun segera melanjutkan perjalanan mengikuti trek, dan lagi-lagi belom berapa lama berjalan, kami mendapat bonus lagi. Adanya sungai kecil dengan air yang sangat bening. Ahh,,, rasanya pengen langsung nyebuur sajaa... :)
Setelah trek ini jalur trekking terasa lebih berat bagi saya dari jalur sebelumnya. Lebih curam dengan debu-debu tanah pula, maklum musim kemarau. Kemudian kami menemukan satu daerah yang disebut Lawang Angin. Di Lawang Angin ini kita bisa ngeliat ngarai-nya Papandayan dengan sangat jelas. Dan hawanya sangat sejuk, anginnya cukup kuat, mungkin itu kenapa dinamakan Lawang Angin.
Bulb |
Karena saya cewek sendiri diantara 5 cowok-cowok yang lain, dan tenda yang dibawa hanya 2 buah, terpaksa saya setenda dengan 3 orang lainnya.. Ahh toh pakai sleeping bag ini.. santai aja lah.. hahha..
Keesokannya terdengar suara ngorook kenceng banget, hahaha.. rupanya si Aji yang ngorok.
Pagi-pagi
Papandayan Fellowship at Death Forest |
Pagi-pagi buta kami melanjutkan perjalanan ke puncak. untuk mengejar sunrise ke Tegal Alun melewati Hutan Mati / Death Forest. Dinamakan begitu karena hutan itu pernah terkena letusan papandayan pada kira-kira tahun 90an. Hasilnya sekarang adalah batang-batang kayu yang masih tegak berdiri tanpa daun dan ranting, hitam! Karena terbakar, hangus!
Selanjutnya kami menuju Tegal Alun. Disana kami bertemu dengan pendaki lain yang bermalam disana.
Edelweiss |
Hahaha,,, di Tegal Alun ini naluri gila si Aji menular ke teman-teman yang lain. Disana kami buat video dokumenter yang ceritanya nggak jelas, awalnya apaaaa... endingnya apaaa.. Trus bikin foto-foto lucu bertema raksasa dan kurcaci.
Soe Hok Gie 1969
Tidak ada komentar:
Posting Komentar